Assalaamu alaikum, pertanyaan lagi tentang proyek jalan tol Semarang–Solo, deskripsi :
MasalahAkhir-akhir ini Indonesia gencar-gencarnya membangun infrastuktur transportasi baik darat maupun laut. Lebih-lebih pulau Jawa yang rencananya akan dibangun tol dari Banten–Surabaya, dengan dalih disamping untuk mengurangi kemacetan dan mempercepat akses ekonomi. Tapi pada kenyataannya proyek tersebut tidak luput dari beberapa masalah, seperti yang terjadi di sepanjang tol Semarang–Solo yang sudah aktif. Akibat dari pembangunan tol tersebut bangunan, tanah milik warga, masjid, perumahan, dan lain-lain harus terpaksa digusur demi kepentingan pembangunan, akan tetapi warga tetap mendapatkan ganti rugi. Pertanyaan :
a. Bagaimana hukum penggusuran tersebut ?
b. Apakah jalan tol tersebut sudah termasuk kategori maslahah 'ammah / لمصلحة العامة ?
c. Bagaimana bila ganti ruginya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan warga ? ditunggu jawabannya. (Muhammad Rofiqul Anam).
JAWABAN :
Wa'alaikumussalam.
a. hukum penggusuran tanah tersebut boleh bila dilakukan pemerintah
b. jalan tol tersebut sudah termasuk mashlahat 'ammah
c. penggusuran tanah tersebut harus dengan ganti rugi yang setimpal (standar), mungkin bisa jadi sesuai atau malah tidak sesuai dengan harga yang diharapkan warga (jika di atas standar)
Menurut madzhab Hanbali masjid digusur untuk dijadikan jalan raya/pelebaran jalan diperbolehkan jika hal tersebut berdasarkan kemaslahatan.
Referensi :
Kemudian dijelaskan dalam buku Ahkamul Fuqaha yang mengutip dari kitab Bujairimi ‘alal minhaj dalam juz II hlm. 174 berbunyi yang artinya, tidak sah akad transaksi yang dilakukan oleh seseorang yang dipaksakan dalam hartanya tanpa hak, karena tidak adanya kerelaan. Para Imam juga bersepakat, bahwa jual beli itu sah jika dilakukan oleh orang yang sudah dewasa, bebas memilih (tidak terpaksa) dan bebas mengelola hartanya. Sedangkan untuk tindakan pemerintah yang membeli tanah rakyat harus sesuai dengan harga yang pantas atau memadai, dan itu semua dilakukan demi kepentingan umum, dalam kitab Al Asybah wan Nadhair, hlm. 83, dijelaskan:
Jika tindakan imam itu didasarkan kepada kepentingan umum, maka secara syar’I perintahnya tidak boleh dilaksanakan kecuali sesuai dengan kepentingan umum tersebut. Dan jika bertentangan, maka tidak boleh dilaksanakan. Oleh karenanya, Imam Abu Yusuf dalam kitab Al Kharraj min babi ihyail mawat menyatakan, imam tidak boleh mengeluarkan apapun dari tangan siapapun kecuali dengan hak yang (berkekuatan hukum) tetap dan ma’ruf.Akan tetapi, dalam buku Ahkamul Fuqaha, seperti yang dikutip dari kitab Al Ahkamus Sulthaniyyah li Ibni Najim, hlm. 124 diceritakan bahwa dulu ketika Umar r.a. diangkat sebagai khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, beliau memperluas masjid dengan membeli rumah dan dirobohkannya.
Kemudian beliau menambahkan perluasannya dengan dengan merobohkan (bangunan) penduduk yang beraa di sekitar masjid yang enggan untuk menjualnya. Umar r.a. kemudian memberikan harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Hal ini juga terjadi di masa kekhalifahan shahabat Utsman bin Affan r.a.Dari peristiwa tersebut, Ibnu Subkiy dalam kitabnya Al Asybah wan Nadhair li Ibni Subkiy, hlm. 116, menjelaskan bahwa:
Barangkali yang dimaksud sesuai dengan pemindahan kesepakatan adalah bahwa Umar membeli rumah dari pemiliknya untuk memperluas masjid. Demikian halnya yang dilakukan oleh Utsman. Para shahabat pada masa itu masih melimpah (di Madinah), namun tidak memberi informasi adanya pengingkaran mereka.Kemudian dalam buku Ahkamul Fuqaha yang mengutip dari kitab Mughnil Muhtaj juz II, hlm. 7, dijelaskan bahwa, “adapun pemaksaan dengan (alasan) yang benar, adalah sah. Melaksanakan kerelaan syara’ (kebenaran) itu kedudukannya sama dengan krelaan (pemilik)nya,” (Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2004: 553). Pendapat ini diperkuat dengan pendapat atau ketetapan yang terdapat dalam kitab Hasiyah Al Dasuqiy ‘alasy Syarhil Kabir juz III, hlm. 6 yang berbunyi:
Seandainya seseorang dipaksa untuk menjual (demi tujuan) yang baik dan halal, maka penjualannya sah, seperti dipaksa untuk menjual rumah untuk memperluas masjid, jalan umum atau kuburan.Sementara itu, sebagai bentuk kehati-hatian, Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin pada juz awal menjelaskan:
Bagian pertama adalah maksiat. Dan maksiat itu tidak akan berubah dari posisinya (sebagai hal yang diharamkan) dengan niat kebajikan. Jika seseorang membangun sekolah, masjid dan pondokan dengan uang haram, ia bermaksud (dengan pembangunan tersebut) untuk melakukan kebajikan, maka semuanya itu merupakan kebodohan dan niatnya itu tidak akan berpengaruh untuk mengeluarkannya dari posisinya sebagai tindakan yang dhalim, aniaya dan maksiat.
Pendapat Imam Ghazali ini diperkuat oleh adanya pendapat yang dikutip dari kitab kitab I’anatuth Thalibin juz III, hlm.9 dalam buku ahkamul Fuqaha, yang artinya, ”seandainya seseorang mengambil sesuatu yang diduga halal dari orang lain dengan cara yang diperbolehklan, maka secara batin merupakan sesuatu yang haram, jika secara lahir tidak nampak baik, seperti yang lacur dari hasil pengkhianatan, maka kelak di akhirat akan dituntut kembali. Sedangkan di dunia, ia tidak akan dituntut sama sekali karena diambil dengan cara yang diperbolehkan. Wallohu a'lam. (Ghufron Bkl).
LINK ASAL :
www.fb.com/groups/piss.ktb/912539132102229/