Assalamu’alaikum.
Sejak akad nikah pasutri selalu menggunakan kondom saat berjimak. Ternyata si istri hamil dan melahirkan anak. Bagaimana status perwalian bayi ini?

(Dari Najih Ibn Abdil Hameed).

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam.
Jika bisa dipastikan istri hanya melakukan persetubuhan dengan suaminya maka anak yang lahir tetap anaknya.  Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan:

"Apabila seorang suami memiliki istri atau budak wanita maka ia (istri) menjadi alasnya,  lalu melahirkan anak sesuai masa imkan (anak lahir di atas enam bulan setelah persetubuhan yang sah) maka anak dinasabkan kepada suami, jadilah ia seorang anak yang berlaku hukum waris diantara keduanya (suami istri) dan lainnya dari hukum-hukum sebab kelahiran, baik si anak cocok dengan suami dalam hal kemiripan ataupun berbeda".

Persetubuhan dengan menggunakan kondom di dalam ilmu fiqih termasuk kategori hukum ‘azl atau persetubuhan dengan mengeluarkan sperma di luar liang senggama (vagina). Penggunaan kondom dapat dikategorikan ke dalam hukum ‘azl sebab kondom dapat mencegah sperma tertumpah ke dalam rahim. Dalam hal ini Imam Nawawi juga memberikan penjelasan:

"Tidak ada masalah bagi kalian meninggalkan 'azl, karena setiap nyawa yang telah ditakdirkan Allah untuk menciptakannya maka pastilah Dia ciptakan, sama saja kalian melakukan 'azl atau tidak, dan nyawa yang tidak ditakdirkan penciptaannya maka tidak akan terjadi, sama saja kalian melakukan 'azl atau tidak. Maka tidak ada gunanya kalian melakukan 'azl, karena sesungguhnya jika Allah ta'ala mentakdirkan kejadiannya maka tercecerlah mani (di dalam rahim) lalu tiada guna penjagaan kalian dalam mencegah penciptaan".

Mengenai masalah nasab anak yang lahir dari persetubuhan dengan menggunakan kondom  maupun ‘azl maka dalam hal ini ada baiknya kita baca hadits Nabi:

عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ لِي جَارِيَةً، هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا، وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا، وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، فَقَالَ: اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ، فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا ، فَلَبِثَ الرَّجُلُ، ثُمَّ أَتَاهُ، فَقَالَ: إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَبِلَتْ، فَقَالَ: قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا

Dari Jabir: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Saya memiliki seorang budak perempuan yang bekerja melayani dan menyirami tanaman kami, saya sering menidurinya, akan tetapi saya tidak ingin jika dia hamil”. Lantas beliau bersabda: "Jika kamu mau, lakukanlah ‘azl, namun begitu, Allah akan mendatangkan apa yang telah ditakdirkan”. Tidak lama kemudian, laki-laki itu datang kepada Nabi lalu berkata: “Budak perempuan itu telah hamil”. Lantas beliau bersabda: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa Allah akan mendatangkan apa yang telah ditakdirkan”.  (Shahih Muslim juz 2 hal. 1064 no. 1439). 

Selanjutnya imam Nawawi menjelaskan maksud hadits tersebut:

"Hadits ini merupakan dalil bertemunya nasab sebab 'azl, karena kemungkinan mani telah tercecer, dan dalam hadits tersebut bahwasanya bila suami mengakui persetubuhan dengan dengan budak yang menjadi alasnya dan bertemunya nasab anak-anaknya, kecuali suami mendakwa istrinya sedang dalam masa itibra'. Ini berdasarkan madzhab kami (Syafi’iyah) dan Malikiyah".

Istibra’ adalah masa menunggu bagi seorang wanita setelah disetubuhi. Apabila ada seorang laki-laki yang menginginkan budak wanita yang ingin disetubuhinya, maka ia tidak boleh menyetubuhinya sampai dia istibra’. Jika ia sedang hamil, maka sampai melahirkan dan jika tidak hamil, maka dengan habisnya masa satu kali haid.

Namun dalam hal ini istibra’ tidak lagi berlaku, sebab penerapannya hanya pada masalah budak wanita dan wanita yang telah berzina. Sedangkan yang dipertanyakan adalah dalam masalah pernikahan.  

Lalu bagaimana dengan status nasab si anak? Di atas telah sedikit kami singgung bahwa nasab anak yang lahir dari persetubuhan dengan menggunakan kondom tetap bernasab kepada ayahnya, karena kemungkinan telah terjadi kebocoran pada kondom tanpa disadari dengan izin Allah, dan suami tidak boleh meniadakan nasab dari anaknya.  Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Bank Made Bank Made, Utsman Hasan, Imam Al-Bukhori dan  Ghufron Bkl).

Referensi:  

Syarh an Nawawiy 'ala Muslim juz 10 hal. 37

إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشا له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولدا يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة سواء كان موافقا له في الشبه أم مخالفا

Syarh an Nawawiy 'ala Muslim juz 10 hal. 10

قوله صلى الله عليه وسلم (لا عليكم ألا تفعلوا ما كتب الله خلق نسمة هي كائنة إلى يوم القيامة إلا ستكون) معناه ما عليكم ضرر في ترك العزل لأن كل نفس قدر الله تعالى خلقها لابد أن يخلقها سواء عزلتم أم لا وما لم بقدر خلقها لا يقع سواء سواء عزلتم أم لا فلا فائدة في عزلكم فإنه إن كان الله تعالى قدر خلقها سبقكم الماء فلا ينفع حرصكم في منع الخلق

Syarh an Nawawiy 'ala Muslim juz 10 hal. 13

قوله صلى الله عليه وسلم للذي أخبره بأن له جارية يعزل عنها (إن شئت ثم أخبره أنها حبلت) إلى آخره فيه دلالة على إلحاق النسب مع العزل لأن الماء قد سبق وفيه أنه إذا اعترف بوطء أمته صارت فراشا له وتلحقه أولادها إلا أن يدعي الاستبراء وهو مذهبنا ومذهب مالك

Tuhfatul Muhtaj juz 8 hal. 215

ولو وطئ وعزل حرم) النفي (على الصحيح) ؛ لأن الماء قد يسبقه ولا يشعر به ولو كان يطأ فيما دون الفرج بحيث لا يمكن وصول الماء إليه لم يلحقه أو في الدبر تناقض فيه كلامهما والأرجح أنه لا يلحقه أيضا وليس من الظن علمه من نفسه أنه عقيم على الأوجه

Al Fiqh 'ala Madzahib al Arba'ah juz 5 hal. 188

فإن تيقن أنه ليس منه، بأن لم يكن وطئها الزوج، أو وطئها لكنها أتت به لأقل من ستة أشهر من وقت الوطء، أو لأكثر من أربع سنين يجب عليه القذف، ونفي الولد باللعان، لأنه ممنوع من استلحاق نسب الغير، كما هو ممنوع من نفي نسبه، كما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله، ولن يدخلها الله حنته،) فما حرم على المرأة أن تدخل على قوم من ليس منهم كان الرجل أيضاً كذلك. أما إن احتمل أن يكون منه بأن أتت به لأكثر من ستة أشهر من وقت الوطء، ولدون أربع سنين، نظر، إن لم يكن قد استبرأها بحيضة، أو استبرأها وأتت به لدون ستة أشهر، من وقت الاستبراء، لا يحل له القذف والنفي، وإن اتهمها بالزنا







 
Top