TENTANG SABILILLAH DALAM TASARUF ZAKAT
YANG BANYAK DISALAH PAHAMI KARENA MENGACU WACANA IMAM QOFFAL


🍁SABIILILLAH
Beberapa tahun belakangan ini, kian terlihat bertambah kencang polemik dan perselisihan dikalangan warga NU dibeberapa daerah dalam hal penerapan golongan sabilillah dalam ashnaf mustahiq zakat. Hal ini dipicu karena ketidakseragaman dasar mereka dari hasil keputusan hukum yang disosialisasikan oleh jam’iyah NU secara kelembagaan.

Sebagaimana diketahui dari penuturan ulama’ salaf (Al Aimmah Al-Arba’ah) bahwa yang dimaksud “Sabilillah” dalam ashnaaf mustahiq zakat adalah “Alghuzaat Almutathawwi’uun” (para pejuang sukarelawan ), terkecuali wacana pendapat yang telah dinuqil oleh imam Qoffal dari sebagian Ulama yang menyatakan bahwa kata Sabilillah itu bisa bermakna luas mencakup seluruh jalur sektor kebaikan (sabiilil khair).

Sejak awal berdiri, NU sudah mengambil langkah tegas dan antisipasi melalui keputusan no.5 dalam Muktamar NU pertama di Surabaya tanggal 21 oktober 1926, bahwa “Tidak diperbolehkan mentasharrufkan zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok-pondok dengan mengatasnamakan sabiilillah dengan berdasar pada kutipan imam Qoffal, sebab pendapat yang dikutip imam Qoffal tersebut adalah fasid”.

Secara umum,Fi sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. Akan tetapi dalam hal zakat, para ulama’ mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan).

Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktivitas lain yang baik seperti mengajar adalah kategori sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan dengan berbagai alasan sebagai berikut:
a. Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid empat atau yang setingkat dengan mereka mengatakan bahawa sabilillah dalam hal zakat adalah mencakup semua amal kebaikan.
b. Pendapat tersebut menyalahi perkataan imam malik: “jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) bahwa yang dimaksud sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan (Ibnu al ‘Arabiy al Maliki, Ahkam al Qur’an)
c. Adanya ijma’ (konsensus para pakar tafsir) bahwa yang dimaksud sabilillah dalam ayat tersebut para pejuang sukarelawan. Hal ini dapat ditelaah dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti al Bahr al Muhith atau an Nahr al Mad karya Abu Hayyan, at Tafsir al Kabir karya ar Raziy, Zad al masiir karya al Hafidz Ibnu al Jauzi, tafsir al Baidhawi, tafsir al Qurthubi, tafsir Ibnu ‘Athiyyah dan masih banyak lagi.
d. Pendefinisian fisabilillah dengan para pejuang sukarelawan merupakan ijma’ para ulama yang telah dinyatakan para fuqaha (ulama fikih), mereka antara lain: imam Syafi’I dalam al Um juz VI hal. 62, imam Malik dalam al Muwatha hal 179, Muhammad Ibnu al Hasan dalam al Mudawwanah juz II, hal. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah hal. 108, Ibnu Qudamah dalam al Mughniy, Ibnu al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja imam Ahmad bin hanbal menambahkan bahwa termasuk juga fi sabilillah dalam hal ini adalah hajji.

Cukup sebagai dalil bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat al Taubah tersebut menggunakan lafdz innama (termasuk lafadz yang berfungsi hashr, yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti bahwa zakat hanya sah jika diberikan kepada 8 golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan maka tidak ada artinya al hashr (pembatasan) dengan lafadz innama tersebut. Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menjelaskan tentang zakat:
إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ
“Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya” (HR Abu Dawud dan al Baihaqi)
Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang baik kaya maupun miskin, maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Kutipan Al Fakh AL Rozi dari Al Qaffal Asyasyi bahwa sebagian fuqaha’ mengatakan, “sabilullah” mencakup semua jalan kebaikan, adalah kutipan dari orang yang majhul (tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang fasid (menyimpang dari kebenaran) dari almajahil (orang-orang yang tidak dikenal ) dan ini menyalahi ijma’yang telah dinyatakan oleh para ulama’ seperti imam Malik. Karenanya pendapat ini tidak bisa diterima sebab menalahi ijma’ (muhammad zahid al kautsari, maqalat al kautsari, hal : 222).

Jika ada sebagian orang yang menuqil dari imam Ahmad bahwa ia mengatakan, zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan, perlu diketahui bahwa ia telah menyalahi nash-nash fuqaha’ hanabilah (ahli fiqh dari madzhab hanbali). Seperti yang telah dikemukakan oleh ibnu hubairah al hanbali dalam Al Ifshah, ibn qudamah Al hanbali dalam Al mughni dan juga ulama’ ulama’ mujtahid atau yang dibawah derajat mereka dari luar kalangan fuqaha’ hanabilah.

Karena semua inilah, maka para ulama’ seperti sulthan al Ulama’ Al ‘Izzu Ibn Abdis Salam berfatwa : meskipun penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan Tar-Tar, bahwa ia tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapatkan gaji dari kas negara. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad. Sebagaimana yang diceritakan oleh Taj al din Al Subkiy dalam Thabaqat Assyafi’iyah dan Ibn Katsir dalam Al bidayah wal nihayah.

Bahwa yang dimaksud fi sabilillah hanyalah para pejuang sukarelawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti Mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit Al Muthii’ii dan syaikh Muhammad Zahid Al Kautsari yang merupakan wakil syaikh Al Islam terakhir dalm khilafah utsmaniyyah.

FAEDAH PENTING

Bagi seorang muslim hendaknya menjadikan tujuan hidupnya adalah mencari ridla Allah semata dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan perintah Allah dan rosulnya dan menjahui semua larangannya juga hendaklah ia senantiasa mengingat bahwa Allah akan meng-hisab segenap perbuatannya. Rosulullah saw bersabda
لا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمرِهِ فِيمَ أفنَاهُ ؟ وَعَنْ عِلمِهِ فِيمَ فَعَلَ فِيهِ ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أيْنَ اكْتَسَبَهُ ؟ وَفيمَ أنْفَقَهُ ؟ وَعَنْ جِسمِهِ فِيمَ أبلاهُ ؟
Maknanya: tidaklah seorang hamba berpindah dari satu mawqif ke mawqif yang lain pada hari qiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara, diantaranya tentanghartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa menafkahkannya. (HR At Tirmidzi)

Karenanya hendaklah seorang muslim berusaha sebaik-baiknya sehingga ia yakin bahwa zakatnya telah sampai ke tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu para ulama’ diantaranya imam Ahmad menyatakan : disunnahkan bagi seseorang untuk menyalurkan zakatnya kepada mustahiq dengan tangannya sendiri. Bahkan Ats Tsauri menyatakan ” sumpahlah mereka (para penguasa) dan jangan percayai mereka dan jangan beri mereka apapun jika mereka tidak menempatkannya sesuai dengan tempat yang semestinya (Asyarh al Kabir Fil Fiqhil hanbali juz II Hal: 673).

Bagi mereka yang tidak menempatkan zakat sesuai dengan tempatnya atau mengambil bagian zakat yang bukan merupakan haknya. Hendaklah ingat sabda Rosulullah
إِنَّ رِجَالاً يتخوَّضون فِي مَالِ اَللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ, فَلَهُمْ اَلنَّارُ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
Maknanya: sesungguhnya orang-orang yang membelanjakan harta Allah (harta Baitul Mal) tanpa ada haq, maka mereka berhak mendapatkan siksa neraka dihari qiyamat. (HR Al Bukhori).

 مواهب الفضل من فتاوى با فضل ص: 38-39
(مسألة (14) في الزكاة) ما قولكم في إخراج الزكاة لنحو بناء المسجد ومدرسة ومعهد ولنحو فرش المسجد وغيرها من مصالح العامة بدعوى أنها داخلة في سبيل الله ؟
ويقال أن القفال من الشافعية نقل عن بعض الفقهاء لأنهم أجازوا صرف الزكاة الى جميع الوجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن ذلك كله في سبيل الله ؟...الى أن قال...وما يقال عن القفال عن بعض الفقهاء مما ذكره السائل لم نره عنه فيما بأيدينا من المصادر نعم رأيت ذلك في تفسير الخازن عن بعض الفقهاء وقال بعده والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه إهـ
بغية المسترشدين ص10
(مسألة : ك) : صرح الأئمة بأنه لا يجوز تعاطي ما اختلف فيه ما لم يقلد القائل بحله ، بل نقل ابن حجر وغيره الاتفاق عليه ، سواء كان الخلاف في المذهب أو غيره ، عبادة أو غيرها ، ولو مع من يرى حل ذلك ، نعم إنما يأثم من قصر بترك تعلم ما لزمه مع الإمكان ، أو كان مما لا يعذر أحد بجهله لشهرته ، أما من عجز عنه ولو لنقلة أو اضطرار إلى تحصيل ما يسدّ رمقه وممونه فيرتفع تكليفه كما قبل ورود الشرع ، قاله في التحفة اهـ. وعبارة ب ومعنى التقليد اعتقاد قول الغير من غير معرفة دليله التفصيلي ، فيجوز تقليد القول الضعيف لعمل نفسه كمقابل الأصح والمعتمد والأوجه والمتجه ، لا مقابل الصحيح لفساده غالباً ، ويأثم غير المجتهد بترك التقليد
ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻹﺳﻼﻣﻰ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰ ﺹ 876)
ﺃﺗﻔﻖ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﻓﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺏ ﺍﻟﺘﻰ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻤﺎ ﻻ ﺗﻤﻠﻴﻚ ﻓﻴﻪ: ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ (ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﻟﻠﻔﻘﺮﺀ) ﻭﻛﻠﻤﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﻟﻠﺤﺼﺮ ﻭﺍﻹﺛﺒﺎﺕ. ﺛﺒﺖ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﺗﻨﻘﻀﻰ ﻣﺎ ﻋﺪﺍﻩ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻮﺟﻪ: ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﺍﺻﻼ، ﻟﻜﻦ ﻓﺴﺮ ﺍﻟﻜﺴﺎﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﺒﺪﺍﺋﻊ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺠﻤﻴﻊ ﺍﻟﻘﺮﺏ ﻓﻴﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺳﻌﻰ ﻓﻰ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﻷﻥ ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻯ ﻳﺸﻤﻞ ﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻭﻓﺴﺮ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺤﻨﻴﻔﻴﺔ "ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ" ﺑﻄﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻄﻠﺐ ﻋﻨﻴﺎ
(بغية المسترشدين ص 106)
(مسألة) : لا يستحق المسجد شيئاً من الزكاة مطلقاً ، إذ لا يجوز صرفها إلا لحرّ مسلم ، ومثله ما في الميزان الكبرى في الجزء الثاني من باب قسم الصدقات وعبارته : اتفق الائمة الاربعة على انه لا يجوز اخراج الزكاة لبناء المسجد او تكفين ميت
(تفسير الخازن -3 /295)
لصنف السابع قوله تعالى : ( وفي سبيل الله ( يعني وفي النفقة في سبيل الله وأراد به الغزاة فلهم سهم من مال الصدقات فيعطون إذا أرادوا الخروج إلى الغزو ما يستعينون به على أمر الجهاد من النفقة والكسوة والسلاح فيعطون ذلك وإن كانوا أغنياء لما تقدم من حديث عطاء وأبي سعيد الخدري ولا يعطى من سهم الله لمن أراد الحج عند أكثر أهل العلم وقال قوم يجوز أن يصرف سهم سبيل الله إلى الحج يروى ذلك عن ابن عباس وهو قول الحسن وإليه ذهب أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه وقال بعضهم : إن اللفظ عام فلا يجوز قصره على الغزاة فقط ولهذا أجاز بعض الفقهاء صرف سهم سبيل الله إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسور والحصون وعمارة المساجد وغير ذلك قال لأن قوله وفي سبيل الله عام في الكل فلا يختص بصنف دون غيره والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه.
(النقض الكاوي لدعوى يوسف القرضاوي ص18)
واما حكاه الرازي من ان القفال الشاشي عزا القول بشمول (وفي سبيل الله (60)) لوجوه البر الى مجهول من الفقهاء على خلاف رأي الجماعة فلا عبرة به، واي اعتبار يقام لرواية مجهول على خلاف الاجماع ؟ وقد قال الكوثري ان الشاشي حينما الف تفسيره كان بعد معتزليا لا يتحاشي نقل اراء المبتدعة ممن لا يقام لكلهم وزن، فزاد هذا الامر تلك الرواية سقوطا وشذوذا، ولسنا بحمد الله ممن يترك جمهور الامة ليتبع مجاهل الشذاذ. ثم ان الشاشي القفال لم يعتمد هذا القول والا لكان اورده في كتابه (حلية العلماء) فانه ذكر فيه سهم فس سبيل الله هو الغزاة الذين اذا نشطوا غزوا، وبه قال مالك وابو حنيفة ، وقال احمد / يجوز ان يدفع ذلك الى من يريد الحج ويدفع الى الغازي مع الغني وقال ابو حنيفة لا يدفع اليه الا ان يكون فقيرا.
(النقض الكاوي لدعوى يوسف القرضاوي ص19)
فلو حمل (وفي سبيل الله (60)) على معنى كل وجوه البر لشمل ذلك اعطاء الفقير قسطا من هذا السهم، والتصدق على المسكين بقسط منه، واستخلاص الرقاب من الرق وانقاذ الغارم من الدين ومعاونة ابن السبيل، الى غير ذلك وهذا لا يستقيم لان كل سهم مباين للاخر مختلف عنه غير متداخل معه، فتعين بطلان هذا التفسير لا سيما وهو يخالف الحقيقة الشرعية ولم يبق الا حمل العبارة على ان المراد بها الغزو وقتال الكفار وما الحق به.

 
Top