Assalamu’alaikum.
Maaf pertanyaan klasik. Ketika shalat saya merasa ada yang keluar dari majral baul (jalan kencing). Tapi masih ragu apakah benar-benar ada yang keluar atau hanya perasaan. Karena sering saya mengalami perasaan seperti itu di luar shalat, dan ketika saya cek kadang basah kadang tidak.


Pertanyaannya: Apakah shalat harus dibatalkan untuk memastikan keluar atau tidaknya? Kalau dicek setelah shalat tentunya sudah kering.


(Dari: Najih Ibn Abdil Hameed).


Jawaban:

Wa ‘alaikum salam.

Sebagian orang dalam shalatnya merasa ada sesuatu yang keluar dari dua jalannya (qubul dan dubur), apakah benar ia sudah kentut/kencing  ataukah belum. Padahal perasaannya baru mungkin, hanya was-was atau belum yakin. Ada kaidah yang telah diajarkan dalam Islam bahwasanya yakin tidak bisa dikalahkan dengan ragu-ragu. Imam As Subkiy menjelaskan:

 “Kaidah pertama: Yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan (syak). Tak diragukan bahwa tidak ada keraguan bersama dengan yakin. Tetapi yang dikehendaki adalah: Kebersamaan asal yang diyakini maka keraguan yang datang tiba-tiba tidak dapat menghilangkan keyakinan tersebut. Maka katakanlah jika kamu mau: “Asal itu adalah tetapnya sesuatu seperti keadaan semula”.

Jadi standarnya sudah jelas, jika hanya ragu-ragu tentang datangnya hadats atau tidak maka tidak membatalkan wudhu/shalat. Kecuali dengan kenyataan bahwa wujudnya sesuatu yang keluar itu memang ada. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau". (HR. Muslim no. 362).

 Imam Ibnu Hajar menukil ucapan Imam Nawawi tentang hadits tersebut, beliau mengatakan: “Hadits ini adalah dasar hukum tetapnya sesuatu seperti asalnya semula kecuali diyakini kebalikannya. Jadi keraguan yang datang tiba-tiba tidak berbahaya (tidak merusak hukum) bagi sesuatu tersebut. Dan jumhur (mayoritas) ulama berpegang  dengan hadits ini”.

Selajutnya Imam Nawawi memberikan keterangan yang lebih rinci: “Para pengikut kami (Syafi'iyah) mengatakan: Apabila seseorang yakin dalam keadaan suci, kemudian ragu (syak) sudah berhadats, maka disunahkan agar ia berwudhu. Apabila ia telah berwudhu dan kesamaran masih berlanjut, maka wudhu dan shalatnya sah. Dan apabila nyata keadaannya telah berhadats, maka mengenai keabsahannya ada dua versi pendapat yang terdahulu di dalam bab niat wudhu. Yaitu: Apabila seseorang yakin dalam keadaan suci, kemudian ragu (syak) sudah berhadats, maka tidak wajib baginya berwudhu tetapi disunahkan. Jikalau dia berwudhu karena tindakan berhati-hati, kemudian nyata bahwa ia telah berhadats maka apakah wudhunya tersebut sah? Dalam hal ini ada dua versi pendapat yang masyhur menurut para ulama Khurasan, pendapat yang paling shahih adalah wudhunya tidak sah (batal).

 Kesimpulannya: Seseorang tidak perlu membatalkan shalatnya bila ia meragukan (syak) apakah ia berhadats atau tidak di tengah shalat. Jadi intinya jika seseorang melakukan pengecekan setelah selesai shalat untuk menghilangkan keraguan tentang kesuciannya, lalu didapatinya ada najis di pakaiannya maka ia wajib mengulang shalatnya. Karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa ia telah kedatangan hadats dan najis di tengah shalatnya.

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Naila Mazaya Maya dan Muhyar Wildan).



Referensi:

 Al Asybah wan Nadzair lis Subkiy juz 1 hal. 12

القاعدة الأولى: اليقين لا يرفع بالشك. اليقين لا يرفع بالشك ولا يخفي أنه لا شك مع اليقين ولكن المراد استصحاب الأصل المتيقن لا يزيله شك طارئ عليه. فقل إن شئت: الأصل بقاء ما كان على ما كان

Al Asybah wan Nadzair lis Suyuthiy hal. 157

القاعدة الثالثة والثلاثون "لا عبرة بالظن البين خطؤه" من فروعها: لو ظن المكلف، في الواجب الموسع أنه لا يعيش إلى آخر الوقت. تضيق عليه، فلو لم يفعله، ثم عاش وفعله: فأداء على الصحيح. ولو ظن أنه متطهر، فصلى، ثم بان حدثه. أو ظن دخول الوقت، فصلى، ثم بان أنه لم يدخل. أو طهارة الماء، فتوضأ به، ثم بان نجاسته

Fathul Bari li Ibni Hajar juz 1 hal. 283

وقال النووي هذا الحديث أصل في حكم بقاء الأشياء على أصولها حتى يتيقن خلاف ذلك ولا يضر الشك الطارئ عليها وأخذ بهذا الحديث جمهور العلماء

Al Majmu' Syarh al Muhadzdzab juz 2 hal. 64 dan juz 1 hal. 331

قال أصحابنا وإذا تيقن الطهارة وشك في الحدث استحب أن يتوضأ فإن توضأ ودام الإشكال فوضوءه وصلاته صحيحان مجزيان وإن بان كونه كان محدثا ففي أجزائه وجهان سبقا في آخر نية الوضوء: إذا تيقن الطهارة ثم شك في الحدث لم يلزمه الوضوء لكن يستحب له فلو توضأ احتياطا ثم بان أنه كان محدثا فهل يجزيه ذلك الوضوء فيه وجهان مشهوران عند الخراسانيين أصحهما لا يجزيه

Tuhfah al Muhtaj juz 2 hal. 136

قوله وحتى احتمل حدوث النجس إلخ) أي وإنما تجب عليه إعادة كل صلاة تيقن فعلها مع النجاسة
 
Top