Pertanyaan :
Assalamu alaikum..
Bagaimana hukumnya uji coba atau penelitian ilmiah terhadap mayat dengan cara di bedah ? mohon dengan ibarohnya, trimakasih..

( Dari : Ricardo Coco Alvarez )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Para ulama' kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum operasi bedah mayat dengan tujuan penelitian ilmiah, berikut ini beberapa pendapat dan dalil yang dikemukakan :

Pendapat pertama
Operasi bedah mayat dengan tujuan tersebut tidak boleh (haram) dilakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Syekh Muhammad Bakhit Al-Muthi'i, Syekh Al-'Arobi Abu Iyad Al-Bathkhi, Syekh Muhammad Burhanudin As-Sinbahli, Syekh Hasan bin Ali As-Segaf, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab Buhairi.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar dari pendapat ini adalah :

1. Operasi pembedahan mayat adalah salah satu bentuk penghinaan terhadap manusia yang telah dimuliakan oleh Alloh meskipun telah meninggal dunia. Alloh berfirman dalam Al-qur'an ;

وَلَقَدْ كَرمنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيبَاتِ وَفَضلنَاهُمْ عَلَى كثِير مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (Q.S. Al-Isro' : 70)

2. Operasi bedah mayat adalah satu bentuk penyiksaan yang dilarang oleh agama, sebagaimana yang dipesankan nabi pada pasukan yang akan berangkat untuk berperang, beliau berpesan ;

اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا

"Berperanglah kalian dengan Nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah, perangilah dan janganlah kalian berlebihan, janganlah kalian mengingkari janji dan janganlah kalian menyiksa." (Shohih Muslim, no.1731)

Meskipun orang tersebut telah meninggal dunia, melakukan penyiksaan pada mayit, sama dengan melakukan penyiksaan pada orang yang masih hidup, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits ;

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

"Memecahkan tulang belulang mayit seperti halnya memecahnya saat masih hidup" (Sunan Abu Dawud, no.3207, Sunan Ibnu Majah, no.1616, Shohih Ibnu Hibban, no.3167, Musnad Ahmad, no.23739 dan Sunan Al-Kubro Lil-Baihaqi, no.7079)

3. Beberapa hadits menjelaskan tentang larangan duduk diatas kuburan, karena hal tersebut dianggap tidak menghormati mayit, padahal duduk diatas kuburan tidak sampai bersentuhan langsung dengan mayit. Nah, jika duduk diatas kuburan saja tidak boleh karena merusak kehormatan mayit, apalagi sampai membedah bagian-bagian mayit, maka hal ini tidak diperbolehkan, dalam ushul fiqih pengambilan dalil dengan cara ini dinamakan "qiya aula" (menyamakan hukum sesuatu yang lebih berat dengan hukum yang lebih ringan, namun ada dalilnya).

4. Dalam ilmu fiqih ditetapkan dua qoidah fiqih ;

الضرر لا يزال بالضرر

"Suatu kemadhorotan (bahaya) itu tidak boleh dihilangkan dengan kemadhorotan pula"

لا ضرر ولا ضرار

"Tidak diperbolehkan melakukan kemadhorotan bagi diri sendiri, dan tidak boleh melakukan kemadhorotan pada orang lain"

Dari dua qoidah fiqih diatas disimpulkan, jika memang benar tujuan dari bedah mayat adalah untuk menghilangkan suatu madhorot, yaitu untuk mempelajari suatu penyakit dan mencari obat yang tepat bagi penyakit tersebut, hal tersebut juga jangan sampai dilakukan dengan cara yang menimbulkan madhorot pula, dengan merusak kehormatan mayit, karena kita diperintahkan untuk tidak melakukan kemadhorotan, baik kepada diri sendiri maupun atau kepada orang lain.


Pendapat kedua
Operasi bedah mayat untuk tujuan penelitian dan pembelajaran kedokteran diperbolehkan. Pendapat ini dikeluarkan oleh beberapa lembaga fatwa, yaitu :

1. Dewan Fatwa Universitas Al-azhar, Mesir
2. Dewan Fatwa kesultanan Yordania
3. Majma' Fiqh Al-Islami, Mekah
4. Hai'ah Kibarul Ulama', Kerajaan Artab Saudi

Pendapat ini juga dipilih oleh beberapa ulama', seperti Syekh Dr. Muhammad Said Romdhon Al-Buthi, Syekh Dr.Mahmud Nadim Nasimi, Syekh Dr.Mahmud "ali As-Sarthowi, Syekh Yusuf Ad-Dajwi, Syekh Hasanain Makhluf dan Syekh Ibrohim Al-Ya'qubi.

Diantara dalil yang dipakai untuk mendasari pendapat mereka adalah :

1. Kebolehan operasi tersebut diqiyaskan (diisamakan) dengan kebolehan ;

a. Pembedahan perut wanita hamil yang sudah meninggal untuk mengeluarkan janin yang masih ada harapan hidup.
b. Pemutusan janin untuk menyelamatkan ibu dari janin tersebut, jika memang kemungkinan besar ibunya akan mati jika janin tersebut tidak diputus.
c. Pembedahan perut mayat untuk mengeluarkan harta benda yang ia ambil lalu ia telan.

Kesamaannya adalah operasi bedah mayat dalam penelitian bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang yang sedang sakit dengan mengadakan penelitian pada orang yang sudah meninggal, meski dari satu sisi hal tersebut merusak kemuliaan mayat, namun kemaslahatan bagi orang yang masih hidup itu lebih diutamakan, seperti dalam kasus diperbolehkannya membongkar kuburan untuk mengambil kafan yang dipakai mayit, karena kafan tersebut hasil curian semisal, sebagaimana dijelaskan para ulama' ahli fiqih.

2. Kebolehan ini didasarkan pada qoidah fiqih ;

إذا تعارضت مصلحتان قدم أقواهما، وإذا تعارضت مفسدتان ارتكب أخفهما تفاديًا لأشدهما

"Apabila terjadi pertentangan diantara dua kemaslahatan (kebaikan), maka didahulukan yang paling kuat diantara keduanya, dan apabila terjadi pertentangan diantara dua kemafsadatan (kerusakan), maka yang paling ringan yang ditanggung"

Penerapan qoidah tersebut dalam masalah ini adalah, bahwa kemaslahatan yang dihasilkan dari operasi ini yang dilakukan pada saat mempelajari ilmu kedokteran kemanfaatannya akan kembali pada semua orang, karena hasil dari penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dalam mengobati penyakit, sedangkan kemaslahatan untuk tidak merusak kehormatan mayat adalah kemaslahatan yang bersifat individu (perseorangan), karena itulah emaslahatan yang bersifat lebih umum yang didahulukan.

Qoidah fiqih lainnya yang menjadi dasar adalah ;

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

"Suatu perkara yang menjadi penentu terlaksananya kewajiban, maka perkara tersebut hukumnya wajib".

Penerapannya, mempelajari ilmu kedokteran dan cabang-cabang ilmu tersebut pada dasarnya adalah fardhu kifayah, sedangkan mempelajari ilmu kedokteran tersebut tak bisa dilakukan secara mendalam tanpa praktek secara langsung dengan melakukan operasi bedah mayat, maka dari itu hukum operasi tersebut bisa jadi wajib dari sudut pandang ini.


Meskipun operasi ini diperbolehkan, namun bukan berarti diperbolehkan secara mutlak, ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi ketika melakukan operasi ini. Berikut ketentuaan-ketentuannya :

1. Selama masih ada pengganti selain mayat, seperti hewan, maka tidak boleh menggunakan mayat sebagai bahan penelitian dan pembelajaran.

2. Jika memang harus menggunakan mayat, maka sebisa mungkin untuk menggunakan mayat orang yang tidak dilindungi nyawanya (ghoiru ma'shum), seperti mayat orang kafir harbi (orang kafir yang memerangi orang islam). 

2. Jika memang harus menggunakan mayat yang ma'shum (dilindungi nyawanya), dan mayat tersebut adalah milik seseorang yang diketahui identitasnya, disyaratkan untuk meminta izin kepadanya, sebelum ia meninggal, atau hal tersebut mendapat izin dari ahli warisnya setelah ia meninggal. Dan tidak diperbolehkan melakukan bedah mayat bagi orang yang dilindungi nyawanya, kecuali bila terpaksa dilakukan.

3. Jika mayat tersebut berjenis kelamin wanita, maka hanya boleh dioperasi oleh dokter wanita, kecuali memang tidak ada lagi dokter wanita yang bisa melakukannya. Begitu juga dikecualikan bagi para pelajar, agar pemahamannya lebiuh mendalam.

4. Diwajibkan untuk melakukan bedah mayat sebatas keterpaksaan (dhorurot) dan kebutuhan (hajat) saja, agar mayat tidak dipermainkan dan tetap menjaga kehormatannya.

5. Mengembalikan semua bagian mayat setelah operasi bedahnya selesai.

Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir dan Mas Udi Abdurrohim )


Referensi :
1. Ahkamul Jirohah Ath-Thibbiyah, Hal : 169-178
2. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz : 4  Hal : 2608-2609
3. Hasil Keputusan "Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islami, Tahun 1987
4. Fatwa "Al-Majlis Al-A'la Lil-Ifta'", no.87
http://www.fatawah.com/Fatawah/87.aspx


Ibarot :
Ahkamul Jirohah Ath-Thibbiyah, Hal : 169-177


المبحث الخامس في (جراحة التشريح
يحتاج الأطباء أثناء تعلمهم للجراحة الطبية إلى تدريب عملي يتمكنون بواسطته من الإلمام التام نظريًا وعمليًا بعلم الجراحة، ويتم ذلك التدريب عن طريق تشريحهم لجثث الموتى، وهو ما يسمى بالجراحة التشريحية، والتي تشتمل على تقطيع أجزاء الجثة، ثم يقوم المشرح بعد ذلك بدراستها، وفحصها، وقد تمتد تلك الدراسة إلى فحص الأنسجة تحت الميكروسكوب، وهو ما يسمى بالتشريح الميكروسكوبي، أو علم الأنسجة "هستولوجيا" (1
ولما كانت الشريعة الإسلامية لا تجيز العبث والتمثيل بجثث الموتى، فإنه يرد السؤال عن حكمها في هذا النوع من الجراح.
وهو سؤال يعد من النوازل الفقهية التي جدّت، وطرأت في عصرنا الحاضر (2)، ولم أعثر على نص لأحد من الفقهاء المتقدمين -رحمهم الله- يتضمن القول بجواز التشريح لغرض التعلم أو عدم جوازه.
وقد اختلف العلماء المعاصرون في هذه المسألة على قولين

القول الأول: يجوز تشريح جثث الموتى لغرض تعلم الطب، وبه صدرت الفتوى من الجهات العلمية التالية:(1) هيئة كبار العلماء بالمملكة العربية السعودية (1). (2) مجمع الفقه الإسلامي بمكة المكرمة (2). (3) لجنة الإفتاء بالمملكة الأردنية الهاشمية (3). (4) لجنة الإفتاء بالأزهر بمصر (4). واختاره عدد من العلماء والباحثين (5

القول الثاني: لا يجوز تشريح جثة الميت لغرض التعلم، وهو لجماعة من العلماء والباحثين (6

الأدلة
1- دليل القول الأول
استدل القائلون بجواز تشريح الجثة لغرض التعليم بدليل القياس والنظر المستند على قواعد الشريعة.
أ- دليلهم من القياس: من وجوه
الوجه الأول: يجوز تشريح جثة الميت لغرض التعليم كما يجوز شق بطن الحامل الميتة، لاستخراج جنينها الذي رجيت حياته
الوجه الثاني: يجوز تشريح جثة الميت لغرض التعليم كما يجوز تقطيع الجنين لإنقاذ أمه إذا غلب على الظن هلاكها بسببه
الوجه الثالث: يجوز تشريح جثة الميت لغرض التعلم كما يجوز شق بطنه لاستخراج المال المغصوب الذي ابتلعه
وكلتا هاتين المصلحتين موجودتان في حال تعلم الجراحة الطبية، إذ يقصد منها تارة إنقاذ حياة المريض وهي المصلحة الضرورية، كما يقصد منها تارة أخرى إنقاذ المريض من آلام الأمراض والأسقام المضنية وهي المصلحة الحاجية، وأما إهانة الميت بتشريح جثته فقد رخص فيها أصحاب هذا القول بناء على القياس أيضًا، حيث استندوا على ما قرره بعض الفقهاء المتقدمين -رحمهم الله- من جواز نبش قبر الميت، وأخذ كفنه المسروق أو المغصوب فقاسوا إهانته بالتشريح على إهانته بنبش كفنه، وكشف عورته بجامع تحصيل مصلحة الحي المحتاج إليها

ب- دليلهم من قواعد الشريعة
1-قالوا: "إن من قواعد الشريعة الكلية، ومقاصدها العامة أنه إذا تعارضت مصلحتان قدم أقواهما، وإذا تعارضت مفسدتان ارتكب أخفهما تفاديًا لأشدهما". ووجه تطبيق هذه القاعدة: أن المصلحة المترتبة على تشريح جثث الموتى لغرض التعليم تعتبر مصلحة عامة راجعة إلى الجماعة، وذلك لما يترتب عليها من تعلم التداوي الذي يمكن بواسطته دفع ضرر الأسقام والأمراض عن المجتمع وحصول السلامة بإذن الله تعالى لأفراده. ومصلحة الامتناع من التشريح تعتبر مصلحة خاصة متعلقة بالميت وحده، وبناء على ذلك فإنه تعارضت عندنا المصلحتان، ولاشك في أن أقواهما المصلحة العامة المتعلقة بالجماعة والتي تتمثل في التشريح فوجب تقديمها على المصلحة الفردية المرجوحة
2-إن من قواعد الشرع "ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب". وتعلم الجراحة الطبية وغيرها من فروع الطب هو في الأصل من الفروض الواجبة على الأمة، فيجب على طائفة منها سد حاجة الأمة إلى هذه العلوم النافعة، وتحقيق هذا الواجب متوقف على التشريح الذي يمكن بواسطته فهم الأطباء للعلوم النظرية تطبيقياً، فيعتبر مشروعًا وواجبًا من هذا الوجه

2- دليل القول الثاني
استدل القائلون بحرمة التشريح بدليل الكتاب والسنة، والقياس، والنظر المستند على قواعد الشريعة
أ- دليلهم من الكتاب
قوله تعالى: {وَلَقَدْ كَرمنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيبَاتِ وَفَضلنَاهُمْ عَلَى كثِير مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً}
وجه الدلالة: أن الآية الكريمة دلت على تكريم الله تعالى لبني آدم، وهذا التكريم عام شامل لحال حياتهم، ومماتهم
وتشريح جثث الموتى فيه إهانة لها، نظراً لما تشتمل عليه مهمة التشريح من تقطيع أجزاء الجثة، وبقر البطن، وغير ذلك من الصور المؤذية فهي على هذا الوجه مخالفة لمقصود الباري من تكريمه للآدميين وتفضيله لهم، فلا يجوز فعلها

ب- دليلهم من السنة
استدلوا بالأحاديث التالية
1-أحاديث النهي عن المثلة، ومنها ما ثبت في الصحيح من حديث بريدة -رضي الله عنه- قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إذا أمَّر أميراً على جيش أو سرية أوصاه في خاصته بتقوى الله، ومن معه من المسلمين خيراً ثم قال: "اغزوا باسم الله في سبيل الله قاتلوا من كفر بالله، اغزوا ولا تغلوا ولا تغدروا، ولا تمثلوا"
وجه الدلالة: أن تشريح جثة الميت فيه تمثيل ظاهر، فهو داخل في عموم النهي الوارد في هذا الحديث وغيره من الأحاديث التي ورد فيها نهي النبي - صلى الله عليه وسلم - الموجب لحرمة التمثيل ومنعه (1). حديث أم المؤمنين عائشة -رضي الله عنها- عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: "إن كسر عظم المؤمن ميتاً مثل كسر عظمه حيًا". وجه الدلالة: أن هذا الحديث دل على حرمة كسر عظام المؤمن الميت والتشريح مشتمل على ذلك فلا يجوز فعله

جـ- دليلهم من القياس
الوجه الأول: أن الأحاديث دلت على أنه لا يجوز الجلوس على القبر، وأن صاحبه يتأذى بذلك ، مع أن الجلوس عليه ليس فيه مساس بجسد صاحبه، فلأن لا يجوز تقطيع أجزائه، وبقر بطنه الذي هو أشد انتهاكًا لحرمته من باب أولى وأحرى
الوجه الثاني: أن من العلماء من نص على حرمة شق بطن المرأة الحامل الميتة لإنقاذ جنينها الذي رجيت حياته مع أن في ذلك مصلحة ضرورية، فلأن لا يجوز التشريح المشتمل على الشق وزيادة أولى وأحرى

د- دليلهم من القواعد الشرعية
استدلوا بما يلي: (1) قاعدة "الضرر لا يزال بالضرر" (2) قاعدة "لا ضرر ولا ضرار
ووجه الاستشهاد بهاتين القاعدتين على حرمة التشريح: أن القاعدة الأولى دلت على أن مفسدة الضرر ينبغي ألا تزال بمثلها، والتشريح فيه إزالة ضرر بمثله، وذلك لأن التعلم بواسطته موجب لإزالة ضرر الأسقام والأمراض بتعلم طرق مداواتها، ولكن هذه الإزالة يترتب عليها ضرر آخر يتعلق بالميت الذي شرحت جثته، وحينئذ يكون من باب إزالة الضرر بمثله، وهو الذي دلت القاعدة على عدم جوازه وأما القاعدة الثانية فقد دلت على حرمة الإضرار بالغير، والتشريح فيه إضرار بالميت فلا يجوز فعله
__________
(1) الدورة التاسعة عام 1396 هـ/1976 م رقم القرار 47 تاريخ 20/ 8/1396 هـ.
(2) الدورة العاشرة -صفر- عام 1408 هـ "مشروع قرار".
(3) صدرت هذه الفتوى من اللجنة المذكورة بتاريخ 20/ 5/1397 هـ وهي موجودة بنصها في بحث د. عبد السلام داود العبادي المسمى بانتفاع الإنسان بأعضاء جسم إنسان آخر حيًا كان أو ميتًا. ص 5 - 8 من بحوث مجمع الفقه الاسلامي بمكة المكرمة.
(4) صدرت هذه الفتوى من اللجنة المذكورة بتاريخ 29/ 2/1971 م.
(5) وهم الشيخ يوسف الدجوي، والشيخ حسنين مخلوف، والشيخ إبراهيم اليعقوبي -رحمهم الله-، والدكتور محمد سعيد رمضان البوطي، والدكتور محمود ناظم نسيمي، والدكتور محمود علي السرطاوي. مجلة الأزهر، المجلد السادس، الجزء الاول محرم سنة 1354 هـ ص 472.
(6) وهم الشيخ محمد بخيت المطيعي، والشيخ العربي بوعياد الطبخي، والشيخ محمد برهان الدين السنبهلي، والشيخ حسن بن علي السقاف، والشيخ محمد عبد الوهاب بحيري، انظر المصادر التالية: فتوى الدجوي مجلة الأزهر المجلد 6 الجزء 1 عدد محرم سنة 1354 هـ، ص 627 - 632، شفاء التباريح والأدواء لليعقوبي ص 96، 97، وقضايا فقهية معاصرة للسنبهلي ص 66، والإمتاع والاستقصاء للسقاف ص 27، 28.

Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz : 4  Hal : 2608-2609

تشريح الجثث ونقل الأعضاء
يرى المالكية والحنابلة عملاً بحديث: «كسر عظم الميت ككسره حياً» أنه لا يجوز شق بطن الميتة الحامل لإخراج الجنين منه؛ لأن هذا الولد لا يعيش عادة، ولايتحقق أنه يحيا، فلا يجوز هتك حرمة متيقنة لأمر موهوم
وأجاز الشافعية شق بطن الميتة لإخراج ولدها، وشق بطن الميت لإخراج مال منه. كما أجاز الحنفية كالشافعية شق بطن الميت في حال ابتلاعه مال غيره، إذا لم تكن له تركة يدفع منها، ولم يضمن عنه أحد
وأجاز المالكية أيضاً شق بطن الميت إذا ابتلع قبل موته مالاً له أو لغيره إذا كان كثيراً: هو قدر نصاب الزكاة، في حال ابتلاعه لخوف عليه أو لعذر. أما إذا ابتلعه بقصد حرمان الوارث مثلاً، فيشق بطنه، ولو قل.
وبناء على هذه الآراء المبيحة: يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية، أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول إلى الحق في أمر الجناية، للأدلة الدالة على وجوب العدل في الأحكام، حتى لا يظلم بريء، ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم. كذلك يجوز تشريح جثث الحيوان للتعليم؛ لأن المصلحة في التعليم تتجاوز إحساسها بالألم
وعلى كل حال ينبغي عدم التوسع في التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء وتحقيق الجنايات، والاقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة، وتوفير حرمة الإنسان الميت وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالخياطة ونحوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة

Hasil Keputusan "Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islami, Tahun 1987

بناء على الضرورات التي دعت إلى تشريح جثث الموتى، والتي يصير بها التشريح مصلحة تربو على مفسدة انتهاك كرامة الإنسان الميت، قرر مجلس المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي ما يأتي
أولا: يجوز تشريح جثث الموتى لأحد الأغراض الآتية
أ - التحقيق في دعوى جنائية لمعرفة أسباب الموت أو الجريمة المرتكبة وذلك عندما يشكل على القاضي معرفة أسباب الوفاة ويتبين أن التشريح هو السبيل لمعرفة هذه الأسباب
ب - التحقق من الأمراض التي تستدعي التشريح ليتخذ على ضوئه الاحتياطات الواقية والعلاجات المناسبة لتلك الأمراض.
ت - تعليم الطب وتعلمه كما هو الحال في كليات الطب
ثانيا: في التشريح لغرض التعليم تراعى القيود التالية
أ - إذا كانت الجثة لشخص معلوم يشترط أن يكون قد أذن هو قبل موته بتشريح جثته، أو أن يأذن بذلك ورثته بعد موته، ولا ينبغي تشريح جثة معصوم الدم إلا عند الضرورة
ب - يجب أن يقتصر في التشريح على قدر الضرورة كيلا يعبث بجثث الموتى
ت - جثث النساء لا يجوز أن يتولى تشريحها غير الطبيبات إلا إذا لم يوجدن
ثالثا: يجب في جميع الأحوال دفن جميع أجزاء الجثة المشرحة " انتهى

Fatwa Al-Majlis Al-A'la Lil-Ifta', no.87

وينبغي أن تراعى الضوابط التالية عند التشريح
1- يجب أن يقتصر في التشريح على قدر الضرورة والحاجة كيلا يعبث بجثث الموتى، وستر ما لا حاجة إلى كشفه من العورة
2- تعظيم حرمة الميت وعدم امتهانه، فلا يجوز الاستهزاء به ولا اللعب بأعضائه ولا الترامي بها في غرف التشريح كما وللأسف يحدث في بعض المستشفيات الجامعية
3- إعادة جميع الأعضاء إلى الميت بعد التشريح وموارة الجثة في التراب
4- تقدّم جثة غير المعصوم على المعصوم، إلا إذا وجدت مصلحة لتشريح المعصوم، وغير المعصوم درجات فتقدم جثة الحربي ثم المرتد ثم المحدود بحد. وفي حال عدم وجود غير المعصوم فيجوز تشريح المعصوم شريطة أخذ إذن الورثة، أو وجود إذن من الميت قبل وفاته، فإن لم يوجد الإذن فلا يجوز التشريح
5- إن وجد بديل مباح عن التشريح فلا يصار إليه، كأن يقوم تشريح الحيوان مثلا مقام تشريح الإنسان
6- فصل الطالبات عن الطلاب حال تشريح الجثث
7- لا بأس أن يمارس طالب الطب تشريح جثث النساء في مرحلة التعليم ليكون على دراية وخبرة، ولكن في الممارسة العملية لا ينبغي أن يشرح النساء إلا الطبيبات، فإن لم يوجدن يستعاض عنهن بالأطباء استثناءً
 
Top