Permasalahan mengenai boleh atau tidaknya membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang masing seringkali diperselisihkan dimasyarakat, untuk itu disini akan dijelaskan secara ringkas mengenai pendapat para ulama’ mengenai masalah ini, dengan tujuan agar hal ini tidak terus menerus menjadi perdebatkan.
Terdapat 2 pendapat berbeda mengenai hukum membayarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang senilai zakat yang dikeluarkan.
Pendapat pertama:
Menurut pendapat mayoritas ulama’, dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan.
Salah satu dalilnya adalah hadits yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum,” (Shahih Bukhari, no. 1503 dan Shahih Muslim, no. 984).
Dari hadits diatas para ulama’ yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa apabila seseorang mengeluarkan zakat dengan uang yang senilai dengan apa yang telah ditetapkan, berarti ia mengeluarkan zakat tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan.
Pendapat kedua:
Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai hukumnya boleh.
Para ulama’ madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya idul fitri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits:
"Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, no. 67)
Sedangkan mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhol, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.
Dari penjelasan singkat diatas kita tahu bahwa masalah ini termasuk permasalahan khilafiyah dimana para ulama’ yang berbeda pendapat masing-masing memiliki dasar yang kuat. Karena itu tak sepatutnya masalah ini terus menerus diperdebatkan, diperselisihkan apalagi samapai menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3 hal. 2044 - 2046 (Fiqih Perbandingan)
Al-Mabsuth, juz 3 hal. 107 (Madzhab Hanafi)
Al-Mudawwanah, juz 1 hal. 392 (Madzhab Maliki)
Al-Majmu’, juz 6 hal. 144 (Madzhab Syafi’i)
Al-Mughni, juz 3 hal. 87 (Madzhab Hanbali)