KEPUTUSAN KOMISI A IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SE- INDONESIA IV TAHUN 2012

Tentang
MASAIL ASASIYYAH WATHANIYYAH
(MASALAH STRATEGIS KEBANGSAAN)

PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT ISLAM
(Mabâdi’ al-Hukûmah al-Fâdhilah)

Bismillahirrahmanirrahim

Kaidah fiqhiyah menegaskan, Tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûth bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan).

Dalam memikul tugas kepemimpinan publik, penyelenggara negara khususnya pemerintah harus memenuhi syarat, antara lain:

Memiliki kemampuan nalar (kecerdasan) untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut rakyat dan kemaslahatan mereka (siyâsah al-ra’iyyah wa tadbîr mashâlihihim);

Memiliki pengetahuan , ketahanan fisik dan mental dengan landasan iman dan taqwa yang membuatnya mampu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan menetapkan hukum serta kebijakan secara benar (al-ijtihâd fî al- nawâzil wa al-ahkâm).

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif harus didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum serta menghilangkan kemafsadatan dari mereka (iqâmah al-mashâlih wa izâlah al-mafâsid). Dalam implementasinya, mencegah terjadinya kemafsadatan harus didahulukan dari pada upaya mewujudkan kemaslahatan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih).

Apabila terjadi benturan kepentingan kemaslahatan antara berbagai pihak, maka kepentingan kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan golongan dan perorangan. Demikian juga, ketika terjadi benturan kepentingan kemafsadatan (kerusakan) antara berbagai pihak, maka kemafsadatan yang dialami oleh sekelompok orang bisa diabaikan demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang bersifat umum.

Pelaksanaan kebijakan penyelenggara negara (tasharruf al-imâm) harus mengedepankan prinsip prioritas (awlawiyyah) sebagai berikut:

Taqdîm al-ahwaj, yaitu mendahulukan atau memprioritaskan rakyat yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan pihak yang kurang membutuhkan;

Al-‘adlu fî i’thâi huqûq mutasâwî al-hâjât, yaitu membagi secara adil di antara mereka yang memiliki kebutuhan yang sama;

Mengedepankan sikap amanah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan menjauhkan diri dari berbagai praktek pengkhianatan dan korupsi (ghulul).

Kemaslahatan yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan penyelenggara negara harus memenuhi kriteria (dlawâbith) sebagai berikut:

Kemaslahatan yang dimaksud adalah tercapainya tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terlindunginya lima hak dasar kemanusiaan (al-dharûriyyât al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan  harta.

Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash.

Kemaslahatan yang dapat dijadikan landasan hukum adalah kemaslahatan yang yang hakiki (benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak mudarat).

Kemaslahatan yang dijadikan landasan hukum harus bersifat pasti (qâthi’ah), terbukti dalam kenyataan (muhaqqaqah), umum, berkelanjutan dan jangka panjang, bukan bersifat spekulatif (mawhûmah), individual, dan sesaat.

Kemaslahatan yang bersifat umum harus diprioritaskan untuk direalisasikan, meskipun harus mengenyampingkan kemaslahatan yang bersifat individual ataupun kelompok (al-mashlahah al-‘âmmah muqaddamah ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah).

Dalam merealisasikan kemaslahatan, penyelenggara negara dapat menetapkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perorangan atau sekelompok orang, hanya apabila hal itu benar-benar demi kemaslahatan umum atau untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

Penyelenggara negara sebagai pengemban amanah untuk mengelola urusan publik harus mendahulukan kepentingan yang bersifat umum dan menjaga kemaslahatan masyarakat banyak, di atas kepentingan perorangan dan golongan.

Penyelenggara negara yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemaslahatan sebagaimana disebutkan di atas, berarti telah mengkhianati amanah, dan harus mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan hukum. Dengan demikian, penyelenggara negara semacam itu tidak termasuk dalam kategori pemerintahan yang baik (good governance/siyâsah al-hukûmah al-fâdhilah).

DASAR PENETAPAN

Firman Allah dalam ayat-ayat sbb:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. An-Nisa' : 58)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (QS. An-Nisa' : 58)

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

"Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra: 16)

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

"Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh," (QS. Al-ahzab: 72).

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

"(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS. Al-Hajj : 41)

Hadis-hadis Nabi SAW sbb:

من ولي من أمور أمتي شيئا ثم لم يجتهد لهم , ولم ينصح فالجنة عليه حرام

"Barangsiapa yang diberi amanah (berupa kekuasaan) atas umatku, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk (kemaslahatan) mereka, dan tidak memberi nasihat buat mereka, maka haram baginya untuk masuk ke dalam surga."

اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ

"Ya Allah, siapapun yang menjadi penguasa atas umatku pada suatu urusan, lalu mempersulit mereka, maka berilah kesulitan atasnya, dan siapapun yang menjadi penguasa atas umatku pada suatu urusan, lalu bersikap lembut kepada mereka, maka mudahkanlah urusannya." (HR. Muslim).

عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه مسلم)

"Dari sahabat Ibnu Umar RA dari nabi SAW: kalian adalah pemimpin dan setiap kalian harus bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)

"Dari Abu Dzar, ia berkata, Aku berkata pada Rasulullah;  "Apakah anda tidak menjadikan aku sebagai pegawai?" kemudian beliau menepuk pundakku, lalu bersabda“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ (رواه البخاري)

"Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: jika amanah disia-siakan maka tunggulah datangnya kehancuran. Ia bertanya: bagaimana menyia-nyiakannya? Jawab Rasul: jika pemerintah di berikan kepada selain ahlinya, maka tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari)

قال أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه: «إني أنزلت نفسي من مال الله منزلة مال اليتيم، إن استغنيت منه استعففت، وإن افتقرت أكلت بالمعروف» رواه ابن أبي شيبة والبيهقي، وقد أخذ المعنى من قول الله عز وجل: «وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن آنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكبروا ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف».

Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab ra. berkata: "Aku menempatkan diriku dari harta Allah seperti harta anak yatim, apabila aku merasa tidak butuh, maka aku tidak mengambilnya, dan apabila aku butuh, maka aku mengambil sewajarnya. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi. Makna hal ini diambil dari firman Allah: "dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut." (QS An-Nisa' :6)

Pendapat-Pendapat Ulama sbb:

Pendapat Imam al-‘Izz Ibn Abd al-Salâm al-Syâfi’î dalam Qawâ’id al-Ahkâm” 2/75:

فصل: في تصرف الولاة ونوابهم

يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد , وجلبا للنفع والرشاد , ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح ؛ إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة , ولا يتخيرون في التصرف حسب تخيرهم في حقوق أنفسهم ، مثل: أن يبيعوا درهما بدرهم , أو مكيلة زبيب بمثلها ، لقول الله تعالى : {وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ }, وإن كان هذا في حقوق اليتامى ؛ فأولى أن يثبت في حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الأئمة من الأموال العامة ; لأن اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة , وكل تصرف جر فسادا أو دفع صلاحا = فهو منهي عنه ، كإضاعة المال بغير فائدة ..

Pasal tentang kebijakan pemimpin dan wakil-wakilnya .

Para pemimpin dan wakilnya membuat kebijakan sebagaimana yang telah kami,sebutkan yaitu dengan kebijakan2 yang terbaik bagi untuk mencegah kemudharatan dan kerusakan  serta mewujudkan Manfaat dan kebaikan,. Dan hendaklah mereka tidak merasa cukup dengan yang baik saat ada kemampuan untuk mewudkan yang terbaik kecuali bila hal itu menyebabkan masyaqqah (kesulitan)yg besar. Dan janganlah mereka memilih milih dalam kebijakan yang akan mereka ambil hanya seperti yang mereka lakukan terhadap kepentingan mereka, seperti menjual satu dirham dengan satu dirham dan segantang kismis dengan yang sama. Sebab Allah ‘azza wajalla berfirman- yg artinya: ” dan janganlah kamu mendekati harta anak Yatim kecuali dengan cara yang terbaik”. Kalau berkenaan dengan hak- hak anak yatim saja demikian maka kebijakan pemimpin pada hak kaum muslimin dan harta masyarakat harus lebih baik lagi. Karena perhatian syariat Islam dengan  hak hak kaum muslimin secara umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan khusus (bagi perorangan atau sekelompok kecil dari mereka). Dan segala tindakan yang membawa pada kerusakan atau menolak kebaikan maka dia terlarang, seperti menghamburkan uang tanpa manfaat.

Pendapat Imam al-Qarafi al-Maliki dalam Kitab Al-Furuq (4/76):

اعلم أن كل من ولي ولاية الخلافة فما دونها إلى الوصية لا يحل له أن يتصرف إلا بجلب مصلحة ، أو درء مفسدة لقوله تعالى {وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } ، ولقوله عليه السلام ” من ولي من أمور أمتي شيئا ثم لم يجتهد لهم , ولم ينصح فالجنة عليه حرام ” .. اهـ

Ketahuilah bahwa siapapun yang memiliki kekuasaan, mulai dari khilafah hingga yang terkecil yaitu wasiat, tidak boleh berbuat kecuali yang membawa maslahat atau mencegah mafsadat, berdasarkan firman Allah (Qs. Al Isra’:34), dan hadits Rasulullah saw.: barangsiapa yang diberi amanah (berupa kekuasaan) atas umatku, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk (kemaslahatan) mereka, dan tidak memberi nasihat buat mereka, maka haram baginya untuk masuk ke dalam surga.

Pendapat Imam Ibn Nujaim al-Hanafî dalam Kitab “al-Asybâh wa al-Nazhâir halaman 139:

تصرف القاضي فيما له فعله في أموال اليتامى ، والتركات ، والأوقاف مقيد بالمصلحة ، فإن لم يكن مبنيا عليها  لم يصح .

Perbuatan hakim yang boleh dalam harta anak yatim, harta warisan dan wakaf, terikat dengan maslahat, sehingga apabila tidak dibangun atas maslahat, maka tidak boleh.

Pendapat Imam al-Zarkasyî al-Syâfi’i dalam kitab al-Mantsûr fi al-Qawâid juz 1/309:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة نص عليه : قال الفارسي في عيون المسائل : قال الشافعي ـ رحمه الله ـ: “منزلة الوالي من الرعية : منزلة الوليّ من اليتيم “ انتهى .

Perbuatan imam terhadap rakyat bergantung kepada maslahat, sebagaimana penegasan Imam Syafi’i. Al-Farisi menyampaikan dalam ‘Uyun al-Masa’il dari Imam al-Syafi’i: kedudukan seorang pemimpin atas rakyatnya sama dengan kedudukan wali yatim atasnya.

Pendapat Imam Ibnu Nujaim al-Hanafi dalam al-Asybâh wa al-Nazhair, halaman 124:

إِذَا كَانَ فِعْلُ اْلإِمَامِ مَبْنِيًّا عَلَى الْمَصْلَحَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِاْلأُمُوْرِ الْعَامَّةِ لَمْ يُنَفَّذْ أَمْرُهُ شَرْعًا إِلاَّ إِذَا وَافَقَهُ. فَإِنْ خَالَفَهُ لَمْ يُنَفَّذْ. وَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ يُوْسُفَ فِيْ كِتَابِ الْخَرَاجِ مِنْ بَابِ اِحْيَاءِ الْمَوَاتِ: وَلَيْسَ لِلإِمَامِ أَنْ يُخْرِجَ شَيْئًا مِنْ يَدِ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقٍِّ ثَابِتٍ مَعْرُوْفٍ.

Apabila perbuatan imam pada perkara-perkara umum dibangun di atas maslahat, maka secara syar’i keputusannya tidak dilaksanakan kecuali jika sesuai dengan maslahat, sehingga apabila menyelisihi, tidak akan dilaksanakan. Oleh karena itu, Imam Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, Bab Tentang Menghidupkan Tanah Mati berkata: seorang penguasa tidak boleh mengeluarkan sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan hak yang benar dan pasti.

Pendapat Ibnu Taymiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa juz 6 halaman 340.

إنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً ؛ وَلَا يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً . وَيُقَالُ : الدُّنْيَا تَدُومُ مَعَ الْعَدْلِ وَالْكُفْرِ وَلَا تَدُومُ مَعَ الظُّلْمِ وَالْإِسْلَامِ

Sesungguhnya Allah menegakkan Negara yang adil walaupun kafir, dan Ia tidak menegakkan (Negara) yang dhalim walaupun muslim. Dan dikatakan: dunia tetap akan ada beserta keadilan dan kekufuran, dan tidak aka nada beserta kedhaliman dan Islam.

Pendapat Al-Mawardi dalam kitab al-ahkam as-sulthaniyah, juz 1 hal. 3:.

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.


TIM PERUMUS KOMISI A:

Drs. KH. Abdusshomad Bukhori (Ketua)
Drs. H. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si (Sekretaris)
Dr. KH. Abdul Malik Madani (Anggota)
KH. Amidhan (Anggota)
KH. Slamet Effendy Yusuf, M.Si (Anggota)
Drs. H. Zainut Tauhid Saadi, M.Si (Anggota)
Dr. H. Imam ad-Daruquthni (Anggota)
Mohammad Yunus, S.Ip (Anggota)
Arif Fakhruddin, MA (Anggota)
Abdul Kholiq, Lc., M.Hi (Anggota)
Prof. Saiful Muslim (Anggota)
Drs. H. Zaharudidin (Anggota)
H. Abdul Majid Pudda (Anggota)
Dra. Hj. Bariroh Uswatun Chasanah, M.M (Anggota)
Drs. Muttaqin (Anggota)
 
Top