PERTANYAAN :
Zakiya El Qolby
Asalamu'alaikum, mau tanya.. Bagaimana hukumnya membohongi anak keciL ??
JAWABAN :
> Alif Jum'an Azend
Para ahli fiqih menetapkan bahwa hukum asal dari berbohong itu adalah haram, tetapi pada kasus-kasus tertentu ada dalil yang memperbolehkan untuk berbohong. Dari Ummu Kultsum binti Uqbah mengabarkan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. [Muttafaqun 'Alaih]
“Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsah (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya”. [Dinukil dari Riyadhush Sholihin, Bab. Al Ishlah bainan naas]
Dari Asma’ binti Yazid dia berkata, Rasulullah bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) :
- suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya
- bohong dalam perang
- dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”.
> Khodim Piss-ktb II
Merayu Anak Kecil Dengan Cara Membohongi. Ada beberapa prinsip dasar dalam pembahasan rukhsah berbohong:
1. Tujuan yang terpuji ketika bisa dicapai baik dengan jujur maupun berbohong maka memilih berbohong adalah haram.
2. Tujuan yang terpuji ketika hanya bisa dicapai dengan berbohong maka hukumnya mubah pada tujuan yang mubah, dan wajib pada tujuan yang wajib.
3. Tujuan yang terpuji ketika bila bersikap jujur efek negatifnya lebih banyak dibandingkan sisi positif tujuannya maka boleh berbohong.
4. Tujuan yang terpuji ketika bila bersikap jujur tidak terlalu berimbas negatif maka wajib jujur.
5. Tujuan yang terpuji ketika bila bersikap jujur efek negatifnya masih diragukan apakah lebih banyak atau lebih sedikit maka lebih diutamakan jujur.
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan rukhsah berbohong dalam tiga hal:
- dalam medan perang
- dalam keharmonisan suami-istri
- dan dalam mendamaikan orang yang bertikai (ishlah).
Membohongi anak kecil seolah termasuk dalam bab ishlah, namun hal itu tertolak dengan hadits lain yang mengecamnya. Belum diketemukan penjelasan ulama mengapa kasus itu dibedakan, boleh jadi hal itu misalnya karena menenangkan anak kecil tidak selalu harus dengan dibohongi, bisa dengan semisal mengalihkan perhatian si kecil. Sesuai dengan prinsip pertama rukhsah di atas.
R e f e r e n s i :
الكتاب : إحياء علوم الدين ج3 ص137-138
فنقول الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعا فالكذب فيه حرام وإن أمكن التوصل إليه بالكذب دون الصدق فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك القصد مباحا وواجب إن كان المقصود واجبا -إلى أن قال-
فإذا علم أن المحذور الذي يحصل بالصدق أشد وقعا في الشرع من الكذب فله الكذب وإن كان ذلك المقصود أهون من مقصود الصدق فيجب الصدق وقد يتقابل الأمران بحيث يتردد فيهما وعند ذلك الميل إلى الصدق أولى لأن الكذب يباح لضرورة أو حاجة مهمة فإن شك في كون الحاجة مهمة فالأصل التحريم فيرجع إليه ولأجل غموض إدراك مراتب المقاصد ينبغي أن يحترز الإنسان من الكذب ما أمكنه
“Kami katakan, ucapan adalah perantara mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang memungkinkan dicapai dengan jujur dan dusta maka hukum berdusta adalah haram. Ketika kemungkinannya dicapai hanya dengan jalan berdusta bukan dengan jujur maka berdusta adalah mubah pada tujuan yang mubah, dan wajib pada tujuan yang wajib.
Ketika telah diketahui bahwa efek negatif syar’i yang timbul dengan sikap jujur lebih banyak daripada dusta maka boleh baginya berdusta. Bila perkara yang dikehendaki lebih remeh daripada tujuan bersikap jujur (yang berefek negatif) maka wajib untuk tetap jujur. Bila keduanya sebanding yakni ketika bimbang di antara dua hal tadi (remehnya tujuan dan efek negatif bersikap jujur) maka kecenderungan bersikap jujur adalah lebih utama, sebab dusta hanya diperbolehkan karena dharurat ataupun hajat yang penting. Bila ragu apakah tujuan perkaranya termasuk hajat yang penting maka hukum asal adalah haram berdusta. Kembalikanlah pada hukum asal tersebut, besertaan karena memandang rumitnya menemukan pada derajat yang mana perkara yang ia tuju sehingga lebih baik bagi seorang manusia untuk menjaga diri dari sikap dusta sebisa mungkin.”
الكتاب : عون المعبود شرح سنن أبي داود ج13 ص228-229
( دعتني ) أي طلبتني وأنا صغير ( ورسول الله صلى الله عليه و سلم قاعد ) الجملة حالية ( فقالت ها ) للتنبيه أو اسم فعل بمعنى خذ ( تعال ) بفتح اللام بلا ألف تأكيد ( أعطيك ) مرفوع على أنه خبر مبتدأ محذوف أي أنا ( وما أردت ) أي أي شيء نويت ( أن تعطيه ) بسكون التحتية لأن الصيغة للمخاطبة وعلامة نصبها حذف النون ( أما ) بالتخفيف للتنبيه ( كتبت ) بصيغة المجهول ( عليك كذبة ) بفتح الكاف وسكون الذال أي مرة من الكذب أو بكسر الكاف وسكون الذال أي نوع من الكذب
وفي الحديث أن ما يتفوه به الناس للأطفال عند البكاء مثلا بكلمات هزلا أو كذبا بإعطاء شيء أو بتخويف من شيء حرام داخل في الكذب كذا في اللمعات.
“[Ibu memanggilku] memintaku sewaktu aku masih kecil [sementara Rasulullah SAW. sedang duduk] merupakan kalimat jumlah hal
[Lalu ibu berkata hei] untuk kalimat pengindah ataupun isim fi’il yang berarti ambillah [kemarilah] dengan harakat fathah lam tanpa alif untuk penguat ucapan
[Ibu akan memberimu] i’rab rafa’ sebagai khabar dari mubtada ‘ana’ yang dibuang
[(Nabi berkata)terus apa yang kau kehendaki] apa yang kau niati
[Untuk kalian berikan padanya]dengan harakat sukun pada ‘ya’ karena sighatnya berupa mukhatabah, tanda nashabnya dengan membuang nun
[Berhati-hatilah] dengan tanpa tasydid, berfungsi sebagai kalimat pengingat
[Bisa ditetapkan] dengan sighat majhul
[Padamu satu kali/satu macam dari sifat dusta] bila dengan fathah ‘kaf dan sukun ‘dzal’ berarti ‘satu kali dari sifat dusta’, bila dengan kasrah ‘kaf’ dan sukun ‘dzal’ berarti satu macam dari sifat dusta.'
Dari hadits ini bisa diketahui bahwa apa yang biasa diremehkan orang-orang pada anaknya, ketika menangis misalnya dengan kalimat rayuan atau tipuan hendak diiming-imingi sesuatu ataupun dengan cara ditakuti-takuti maka hukumnya haram, termasuk dalam kategori berdusta.
Demikian dikatakan ad-Dahlawi dalam kitab al-Luma’at.
Link Asal >http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/430388253650655/
 
Top