1. Haid
A. Definisi Haid
Haid adalah darah yang keluar dari rahim secara berkala melalui vagina – bukan setelah melahirkan– pada usia subur (9 tahun lebih).
B. Hukum Mempelajari Haid
Setiap wanita wajib mempelajari haid dan hal-hal yang terkait. Bahkan sang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk belajar tentang hukum-hukum haid kecuali bila ia sanggup mengajar sendiri istrinya.
C. Usia Haid
Wanita dapat mengalami haid minimal sejak usia 9 tahun kurang 16 hari dengan hitungan kalender Hijriyah .
Wanita yang mengalami pendarahan beberapa hari sebelum usia minimal haid. Dan memanjang hingga memasuki usia minimal haid. Maka yang dihukumi haid hanya darah yang masuk pada usia minimal haid. Misalnya jika mengalami pendarahan 10 hari pada usia 9 tahun kurang 20 hari. Maka 4 hari pertama dari darahnya tidak dihukumi haid. Dan 6 hari berikutnya dihukumi haid.
Pendarahan yang terjadi pada masa monopouse dihukumi haid (bila tidak kurang dari 24 jam).
D. Masa Haid
Minimal masa haid adalah 24 jam jika darahnya keluar terus. Maksimalnya 15 hari 15 malam (360 jam) walaupun darahnya putus-putus, namun bila dijumlah darahnya mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh; wanita yang pada tanggal 1 mengalami pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3 hari). Kemudian mengalami pendarahan lagi 20 jam lalu bersih 10 hari. Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam. Maka semua darahnya dihukumi haid. Karena jika dijumlah mencapai 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama berbeda pendapat mengenai masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi haid, ada pula yang menghukumi suci.
Oleh karena itu wanita yang haidnya putus-putus, setiap darahnya berhenti wajib bersesuci dan shalat (bila mengikuti pendapat yang kedua).
Semisal ada orang mengalami haid 2 hari lalu bersih. Ia mengira dirinya sudah suci. Kemudian melaksanakan puasa. Selang 10 hari kemudian ternyata keluar darah lagi 2 hari. Maka semua darahnya dihukumi haid. Sedangkan puasa yang ia lakukan di masa bersih, bila mengikuti pendapat yang kedua, hukumnya sah. Namun bila mengikuti pendapat yang pertama (haid) ia wajib mengulangi lagi puasanya, sebab tidak sah.
Wanita yang kebiasaan haidnya 9 hari, lalu pada suatu saat mengalami pendarahan dua hari, dan bersih. Jika ada kemungkinan darahnya akan keluar lagi, ia boleh menunggu (tidak shalat) hingga hari ke 9. Namun jika ternyata darahnya tidak kembali lagi, ia harus mengqadha’ shalatnya .
Wanita yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa darahnya bersih dengan cara memasukkan segumpal kapas ke dalam vagina. Bila pada kapas tersebut ada bercak (sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum bersih / suci. Meskipun cairan tersebut tidak sampai mengalir ke vagina bagian luar (bagian yang tampak ketika sedang jongkok buang air) .
Banyak mereka yang salah paham dan menganggap cairan keruh keputihan bukan haid. Padahal kenyataannya empat mazhab menjelaskan yang sedemikian itu disebut haid .
Kesalahpahaman ini berakibat fatal. Sebab sebagian besar wanita mengalami pendarahan haid seperti berikut. Mula-mula keluar cairan keruh keputihan. Dan itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya). Lalu keluar merah 4 hari. Kemudian keluar cairan keruh lagi 2 hari. Maka haidnya 8 hari. Sementara ada anggapan bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari) saja. Sedangkan yang keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti keruh, ia pun mandi. Kenyataannya ia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya tidak sah. Kelak ketika haidnya benar-benar telah suci dengan bersihnya cairan keruh, ia berkewajiban shalat. Dan shalatnya tidak akan pernah sah kecuali ia melakukan mandi hadats.
Setiap wanita haid wajib melihat keadaan darahnya ketika hendak tidur dan setiap menjelang akhir waktu shalat. Untuk mengetahui shalat yang wajib dilaksanakan bila darahnya berhenti (dan tidak kembali lagi).
Namun menurut mazhab Maliki walaupun darahnya akan kembali lagi tetap wajib shalat. Sebab mazhab Maliki sepakat bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita yang mengeluarkan darah putus-putus selama 15 hari 15 malam tetapi setelah dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai 24 jam, tidak dihukumi haid. Dalam masalah ini imam Abil Abbas dari kalangan Syafi’iyah menghukuminya haid (beserta masa bersih di sela2nya)
Wanita hamil yang mengalami pendarahan, menurut mazhab Syafii dan Maliki disebut haid. Namun menurut Hanafi dan Hambali bukan haid .
A. Definisi Haid
Haid adalah darah yang keluar dari rahim secara berkala melalui vagina – bukan setelah melahirkan– pada usia subur (9 tahun lebih).
B. Hukum Mempelajari Haid
Setiap wanita wajib mempelajari haid dan hal-hal yang terkait. Bahkan sang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk belajar tentang hukum-hukum haid kecuali bila ia sanggup mengajar sendiri istrinya.
C. Usia Haid
Wanita dapat mengalami haid minimal sejak usia 9 tahun kurang 16 hari dengan hitungan kalender Hijriyah .
Wanita yang mengalami pendarahan beberapa hari sebelum usia minimal haid. Dan memanjang hingga memasuki usia minimal haid. Maka yang dihukumi haid hanya darah yang masuk pada usia minimal haid. Misalnya jika mengalami pendarahan 10 hari pada usia 9 tahun kurang 20 hari. Maka 4 hari pertama dari darahnya tidak dihukumi haid. Dan 6 hari berikutnya dihukumi haid.
Pendarahan yang terjadi pada masa monopouse dihukumi haid (bila tidak kurang dari 24 jam).
D. Masa Haid
Minimal masa haid adalah 24 jam jika darahnya keluar terus. Maksimalnya 15 hari 15 malam (360 jam) walaupun darahnya putus-putus, namun bila dijumlah darahnya mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh; wanita yang pada tanggal 1 mengalami pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3 hari). Kemudian mengalami pendarahan lagi 20 jam lalu bersih 10 hari. Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam. Maka semua darahnya dihukumi haid. Karena jika dijumlah mencapai 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama berbeda pendapat mengenai masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi haid, ada pula yang menghukumi suci.
Oleh karena itu wanita yang haidnya putus-putus, setiap darahnya berhenti wajib bersesuci dan shalat (bila mengikuti pendapat yang kedua).
Semisal ada orang mengalami haid 2 hari lalu bersih. Ia mengira dirinya sudah suci. Kemudian melaksanakan puasa. Selang 10 hari kemudian ternyata keluar darah lagi 2 hari. Maka semua darahnya dihukumi haid. Sedangkan puasa yang ia lakukan di masa bersih, bila mengikuti pendapat yang kedua, hukumnya sah. Namun bila mengikuti pendapat yang pertama (haid) ia wajib mengulangi lagi puasanya, sebab tidak sah.
Wanita yang kebiasaan haidnya 9 hari, lalu pada suatu saat mengalami pendarahan dua hari, dan bersih. Jika ada kemungkinan darahnya akan keluar lagi, ia boleh menunggu (tidak shalat) hingga hari ke 9. Namun jika ternyata darahnya tidak kembali lagi, ia harus mengqadha’ shalatnya .
Wanita yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa darahnya bersih dengan cara memasukkan segumpal kapas ke dalam vagina. Bila pada kapas tersebut ada bercak (sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum bersih / suci. Meskipun cairan tersebut tidak sampai mengalir ke vagina bagian luar (bagian yang tampak ketika sedang jongkok buang air) .
Banyak mereka yang salah paham dan menganggap cairan keruh keputihan bukan haid. Padahal kenyataannya empat mazhab menjelaskan yang sedemikian itu disebut haid .
Kesalahpahaman ini berakibat fatal. Sebab sebagian besar wanita mengalami pendarahan haid seperti berikut. Mula-mula keluar cairan keruh keputihan. Dan itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya). Lalu keluar merah 4 hari. Kemudian keluar cairan keruh lagi 2 hari. Maka haidnya 8 hari. Sementara ada anggapan bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari) saja. Sedangkan yang keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti keruh, ia pun mandi. Kenyataannya ia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya tidak sah. Kelak ketika haidnya benar-benar telah suci dengan bersihnya cairan keruh, ia berkewajiban shalat. Dan shalatnya tidak akan pernah sah kecuali ia melakukan mandi hadats.
Setiap wanita haid wajib melihat keadaan darahnya ketika hendak tidur dan setiap menjelang akhir waktu shalat. Untuk mengetahui shalat yang wajib dilaksanakan bila darahnya berhenti (dan tidak kembali lagi).
Namun menurut mazhab Maliki walaupun darahnya akan kembali lagi tetap wajib shalat. Sebab mazhab Maliki sepakat bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita yang mengeluarkan darah putus-putus selama 15 hari 15 malam tetapi setelah dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai 24 jam, tidak dihukumi haid. Dalam masalah ini imam Abil Abbas dari kalangan Syafi’iyah menghukuminya haid (beserta masa bersih di sela2nya)
Wanita hamil yang mengalami pendarahan, menurut mazhab Syafii dan Maliki disebut haid. Namun menurut Hanafi dan Hambali bukan haid .
2. Nifas
A. Definisi Nifas
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, meskipun yang dilahirkan hanya berupa ‘alaqah (gumpalan darah) atau mudghah (gumpalan daging). Atau yang dikenal dengan keguguran. Walaupun plasentanya (ari-ari, jw) masih tertinggal di dalam rahim.
B. Masa Nifas
Waktu nifas minimal satu tetes atau sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung sejak dari keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.
Hitungan nifas dimulai sejak usai melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal 1 kemudian tanggal 10 baru keluar darah, maka hitungan 60 hari 60 malam dihitung sejak tanggal 1. Sedang yang dihukumi nifas sejak tanggal 10. Jadi antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 9 dihukumi suci, dan tetap wajib melakukan shalat.
Bila jarak antara selesai melahirkan dengan keluarnya darah itu mencapai 15 hari 15 malam (360 jam), maka darah tersebut tidak dihukumi nifas. Melainkan darah haid.
Wanita yang mengalami pendarahan dengan terputus-putus sebelum 60 hari 60 malam setelah melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Sedangkan masa bersih di sela-sela nifas hukumnya sama dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi suci, ada yang menghukumi nifas.
Tapi perlu diingat, bila putusnya mencapai 15 hari 15 malam. Maka darah setelah masa putus tersebut bukan lagi nifas melainkan haid. Dan masa putus tersebut dihukumi suci.
Pendarahan yang karena melahirkan yang terjadi sebelum atau menyertai kelahiran tidak dihukumi nifas, ataupun haid. Kecuali bila bersambung dengan pendarahan haid yang terjadi sebelumnya. Misalnya wanita yang sebelum merasakan sakit akan melahirkan sudah mengalami pendarahaan beberapa hari (lebih 24 jam) sampai dengan terasa akan melahirkan ia tetap mengalami pendarahan. Maka semua darahnya dihukumi haid.
C. Masa Suci
Masa suci yang memisahkan haid dengan nifas atau nifas dengan nifas tidak harus 15 hari 15 malam (360 jam). Mungkin kurang dari 15 hari 15 malam (360 jam), atau bahkan tidak ada masa suci sama sekali. Dengan kata lain, tidak sama dengan masa suci antara dua haid.
Beberapa contoh:
Contoh 1: Seorang ibu melahirkan bayi kembar. Jika kelahiran pertama terjadi di pagi hari (misalnya) lalu mengalami pendarahan. Kemudian kelahiran ke dua terjadi di malam hari, disusul dengan pendarahan. Maka pendarahan setelah kelahiran pertama dihukumi nifas. Lalu setelah kelahiran kedua juga nifas yang lain. Dalam contoh ini, tidak terdapat masa suci yang memisahkan di antara dua nifas.
Contoh 2: Wanita hamil mengalami haid dan tidak putus hingga melahirkan. Kemudian mengalami pendarahan selama 10 hari. Dalam kasus ke 2 ini, darah yang keluar sebelum melahirkan dihukumi haid. Darah yang keluar setelah melahirkan dihukumi nifas. Haid dan nifasnya tidak dipisah oleh masa suci.
Contoh 3: Wanita yang mengalami nifas dan telah genap 60 hari. Darahnya mampat sebentar lalu mengeluarkan darah lagi selama dua hari. Di sini, darah yang keluar setelah bersih disebut haid. Sedangkan bersihnya darah disebut suci. Artinya, masa suci yang terjadi antara nifas dan haid hanya sebentar.
Catatan Penting!
‘Alaqah (gumpalan darah) yang keluar dari rahim wanita memiliki tiga konsekwensi hukum, yakni:
1. Darah yang keluar setelahnya dihukumi nifas.
2. Wajib mandi.
3. Membatalkan puasa.
Untuk gumpalan daging (mudghah), di samping memiliki tiga hukum di atas juga memiliki aspek hukum yang lain, yakni berakhirnya masa iddah.
D. Mustahadhah Nifas
Wanita yang mengalami pendarahan setelah melahirkan melebihi 60 hari terhitung sejak melahirkan, disebut mustahadhah.
Ada tiga pendapat mengenai darah semacam ini:
1. Mayoritas ulama dan ini merupakan pendapat yang lebih benar (ashah) menyatakan tafsil. Sedikitnya ada 4 rincian mengenai hal ini, apakah dia bias membedakan warna darahnya (mumayyizah) atau tidak. Dan apakah pemula (mubtadiah) atau bukan (mu’tadah).
2. Nifasnya 60 hari selebihnya istihadhah
3. Nifasnya 60 hari, selebihnya haid.
Mohon maaf karena kami tidak menjelaskan secara rinci pendapat yang pertama.